|
Arachely Serena Pramudya 25m with her father Pramudya Eka |
Gedung Balai Kota adalah salah satu gedung berarsitektur kolonial
Belanda yang terletak di lingkaran jalan Tugu Malang dan merupakan
gedung peninggalan pemerintah Belanda. Beruntung sekali Arachely Serena Pramudya 25m bisa mengunjungi situs bersejarah tersebut.
Gedung ini tampak menarik dan mudah ditemui karena berada di jantung Kota Malang dan menjadi salah satu icon kota Malang
Sejarah Berdirinya Balaikota Malang
Sebelum tahun 1914 Malang masih merupakan daerah bagian dari
Karesidenan Pasuruan dan kekuasaan tertinggi di Malang adalah Assisten
Residen dan kantornya berada di selatan Alun-alun (sekarang kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara). Setelah Kota Malang dinaikkan statusnya
menjadi
Gemeente (pemerintah kota) tanggal 1 April 1914, Kota Malang berhak memerintah daerah sendiri dengan dipimpin oleh seorang
Burgemeester
(Walikota). Semula jabatan walikota itu dirangkap oleh Asisten Residen
sampai tahun 1918. Baru tahun 1919 Malang mempunyai walikota pertama HI
Bussemaker, yang menduduki jabatannya sampai 1929. Meskipun walikotanya
telah ditunjuk, tetapi sampai tahun 1926 Kota Malang masih belum
memiliki kantor balaikota yang permanen.
Alasan untuk membentuk daerah pusat pemerintahan baru membuat pihak kota (
Gemeente) membuat rencana perluasan kota kedua (
Bouwplan II) yang diputuskan pada 26 April 1920. Daerah ini dinamakan sebagai
Gouverneur-Generaalbuurt.
Rencana tersebut baru dilaksanakan pada tahun 1922. Lapangan yang
menjadi orientasi utama daerah baru tersebut kemudian dinamakan sebagai
Jan Pieterszoon Coenplein (Lapangan JP. Coen). Karena lapangan tersebut berbentuk bulat (bahasa Jawa:
bunder), maka sering disebut sebagai
Alun-alun Bunder.
Di tengah Alun-alun Bunder tersebut dibuat kolam air mancur. Di sekitar
Alun-alun Bunder tersebut, kemudian didirikan berbagai bangunan resmi
dan monumental seperti Balaikota Malang, gedung sekolah HBS (AMS),
sekarang SMA Negeri, tempat kediaman panglima militer, Hotel Splendid,
dan Kantor Dinas Topografi, serta bangunan villa lainnya. Lingkungan
baru tersebut kemudian terkenal sebagai daerah yang menjadi ciri khas
Kota Malang.
Gagasan perencanaan Balaikota Malang tersebut baru muncul pada akhir
tahun 1926. Pada saat itu walikota H.I. Bussemaker mengadakan sayembara
perancangan Balaikota Malang, yang lokasinya sudah ditentukan di selatan
lapangan JP. Coen.
Gemeente Malang menunjuk Ir. W. Lemei
sebagai juri dengan dibantu oleh Ir. Ph. N. te Winkel dan Ir. A.
Grunberg. Ir. W. Lemei adalah pejabat
Landsgebouwendienst (Kepala Jawatan Gedung Negara). Pada sayembara tersebut terdapat 22 gambar yang masuk.
Laporan yang diberikan para juri kepada
Gemeente Malang pada
dasarnya memberikan penekanan bahwa tidak seorang pun dari peserta
sayembara yang berhasil memenuhi persyaratan sebagai pemenang.
Denah-denah yang masuk yang masuk memberikan gambaran bahwa pembuatnya
kurang ahli, demikian komentar juri. Kekurangan yang paling menonjol
dari hampir semua peserta menurut laporan juri antara lain opset yang
terlalu mewah, distribusi ruangan yang kurang baik, perbandingan ukuran
yang kurang serasi dari ruang-ruangnya. Kemungkinan untuk perluasannya
pun tidak dipenuhi oleh beberapa peserta. Ada beberapa peserta yang
mencoba untuk memenuhinya tetapi hasilnya dinilai sangat acak-acakan.
Hanya satu dua saja yang memang benar-benar memikirkannya dengan layak.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa akhirnya juri memutuskan bahwa
tidak ada pemenang di antara pengikut sayembara tersebut.
Namun setelah diadakan penelitian kembali, kemudian diputuskan untuk
mengambil tiga buah rancangan untuk dipilih. Setelah diadakan penilaian
kembali maka di antara ketiga unggulan tersebut tidak ada yang diberi
nomor satu. Pemenang nomer dua dan tiga diberikan kepada dua peserta
terbaik. Oleh pihak juri dinilai bahwa kedua proyek yang dipilih sebagai
pemenang tersebut dapat dilaksanakan dengan biaya kurang lebih f
175.000,-.
Pada tanggal 14 Februari 1927 diputuskan oleh Dewan Perwakilan (
Gemeenteraad)
agar rancangan yang dianggap terbaik dapat diwujudkan dengan berbagai
perubahan yang diusulkan oleh juri. Keputusan jatuh kepada rancangan HF
Horn dari Semarang dengan motto
Voor de Burgers van Malang
(Untuk Warga Malang). Pekerjaan pembangunan balaikota tersebut
dilaksanakan oleh pihak kota sendiri pada 1927-1929, dengan biaya saat
itu sebesar f 287.000,- dan perabotannya sebesar f 12.325,-. Pada bulan
November 1929 gedung tersebut baru bisa dipakai. Yang pertama kali
menempati gedung tersebut adalah pengganti HI Bussemaker, yaitu Ir. EA
Voorneman.
Beberapa tahun kemudian apa yang dikemukakan oleh juri sebagai
kekurangan, yaitu tentang pembagian ruangannya, ternyata terbukti benar.
Akibat pertumbuhan Kota Malang yang sangat cepat, beberapa dinas
memerlukan perluasan. Ada bagian-bagian yang harus bertukar tempat dan
sebagian lagi rungannya sudah tidak mencukupi lagi. Untuk mengatasi
kekurangan tempat tersebut, kemudian ruang baca dan ruang perpustakaan
kota dipindahkan Rumah Dinas Kota di Jalan Arjuna. Dengan kosongnya
ruang-ruang ini maka untuk sementara kekurangan ruang tersebut dapat
dipecahkan.
Perancangan interior dari Balaikota Malang dipercayakan kepada C.
Citroen, arsitek terkenal dari Surabaya. Bagian interior yang dirancang
oleh Citroen adalah interior balai sidang, ruang walikota dan
sekretarisnya. Karena biaya pembangunan gedungnya ternyata sungguh di
luar dugaan, maka anggaran untuk interiornya memang menjadi terbatas.
Meskipun demikian Citroen telah berhasil membuat interior yang memerikan
kesan cukup berwibawa. Kayunya menggunakan jati putih, sedangkan
kursinya diberi bekled dari kulit kaleb kuning.
Bangunan balaikota terdiri dari dua lantai. Orientasi bangunannya
menghadap utara-selatan. Karena letak dan bentuk utama lokasinya, maka
balaikota tersebut seolah-olah ingin menguasai lapangan JP. Coen
(Alun-alun Bunder) dengan indahnya. Bentuk utama dari denahnya sesuai
benar dengan kehendak situasinya yang harus mengarah ke lapangan JP
Coen. tampak bangunannya berbentuk simetri dengan pintu utama tepat
berada di tengah. Di atas pintu masuk tersebut terletak ruang rapat
beserta teras besar yang diapit oleh ruang walikota dan Dewan Harian.
Semua lalu lintas harus melalui pintu utama. Dinas-dinas yang
berhubungan dengan publik berada di lantai bawah. Situasi bangunannya
sangat mendukung sehingga tampak bangunan menjadi monumental dan megah.
Berbeda dengan rancangan kantor-kantor kolonial lainnya di Hindia
Belanda pada waktu itu, Balaikota Malang mengambil model selasarnya
(sirkulasi penghubung) di bagian belakang. Pada umumnya kantor kolonial
yang dibangun hampir bersamaan dengan Balaikota Malang pada waktu itu,
seperti kantor Balaikota Surabaya, Kantor Gubernur Jawa Timur atau
Kantor Pusat HVA di Surabaya mengambil selasar mengelilingi gedung.
Karena tidak ada perlindungan langsung pada jendela tampak depannya,
maka jendela-jendela pada Balaikota Malang ini sekarang terpaksa diberi
overstek tambahan, untuk menahan tampiasan air hujan dan masuknya sinar
matahari langsung (meskipun orientasi bangunannya diusahakan ke arah
utara-selatan, tetapi tidak tepat). Pemerintah Kota (Gemeente) Malang
saat itu sadar akan adanya beberapa kekurangan desain bangunan tersebut,
maka untuk interior bangunannya pihak Gemeente terpaksa meminta bantuan
C. Citroen yang berdomisili di Surabaya.
Pada tanggal 29 Juli 1947 Belanda menyerbu Malang yang dikenal
sebagai Agresi Militer Belanda I. Pada tanggal 31 Juli 1947 pukul 9.30
pagi tentara Belanda menduduki Kota Malang. Sebelum tentara Belanda
memasuki kota, gedung balaikota sudah dibumihanguskan oleh para pejuang.
Bukan gedung balaikota saja yang dihancurkan, gedung-gedung penting
lainnya meliputi seribu bangunan turut dibakar. Baru setelah perang
kemerdekaan gedung Balaikota Malang kembali dibangun